here i share . here i cry . here i laugh . here i'm proud . here i'm shy . here i'm happy . here i'm sad . here i'm calm . here i'm shaking . here i am . myself . through ages . time after time
hmmh, setelah tertunda, akhirnya selese juga baca seri ke3 tetralogy LASKAR PELANGI :
e d e n s o r
wow. what a really inspirative one . berkisah tentang mimpi2 yg begitu tinggi, begitu liar, tetapi dapat diwujudkan dengan kegigihan dan keteguhan hati.
aku jadi sadar, aku juga pasti bisa, meraih mimpi-mimpiku yg bisa dibilang hampir sama liarnya dgn mimpi2 mereka. aku pasti bisa .
Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di bandara Narita dengan selamat dan utuh, hoho. Kesan pertama yang muncul : Cool. Dari tempat pertama yg kita datengin aja, sudah keliatan bgt bedanya ama Indonesia! Disana teratur n disiplin, pemeriksaan imigrasi yang ketat n alat-alat yang canggih semakin nikin aku kagum. Setelah melewati berbagai pemeriksaan, kami masuk ke bis dan segera menuju hotel yang namanya Asakusa View Hotel. sampai di sana kami segera menuju sebuah sebuah hall. Disitu kami diberi pengarahan dan dikenalin ama kordinator grup masing-masing. Koorinator grup-ku namanya pak Kuswan dan William. Mereka ternyata orang asli Indonesia. Setelah pengarahan, kami semua berjalan kaki menuju daerah kuil Sensoji untuk foto bersama dan makan siang. Di perjalanan lagi-lagi aku menemukan banyak hal baru yang tidak bisa kutemui di Indonesia. Lalu lintas yang begitu teratur, sudut-sudut jalan dan trotoar yang begitu bagus dan bersih, serta pengguna jalan raya yang begitu disiplin taat aturan. Sampailah kami di lingkungan kuil yang ramai. Kuil tersebut begitu unik dan megah. Setelah berfoto bersama, kami pun menuju tempat makan dan menyantap makanan dengan lahap karena memang kami sudah kelaparan. Selesai makan siang, kami dibebaskan untuk berjalan-jalan dan berbelanja di lingkungan pertokoan dekat kuil. Ternyata disitu banyak sekali benda-benda yang lucu dan unik. Aku pun membeli beberapa. Sebelum kami puas melihat-lihat, tiba waktunya kami kembali ke hotel untuk check in dan unpack barang-barang kami. Malam itu kami semua makan malam di sebuah restoran Italia di daerah Ginza. Daerah tersebut begitu ramai pada jam-jam segitu. Karena selain memang jam pulang kerja, daerah Ginza juga merupakan tempat pertokoan kelas atas atau pertokoan glamor. Toko-toko yang berada di sana adalah toko-toko merek internasional yang terkenal, seperti Luis Vuitton, Renato Nucci, Prada, Dolce&Gabbana, Guess, dan lain-lain. Daerah Ginza juga merupakan wilayah termahal di Jepang. Harga tanah saja bisa mencapai sekitar Rp. 2 milyar per meter persegi! Sepulang dari Ginza, kami dari kelompok Gifu berkumpul di koridor lantai hotel untuk membicarakan masalah performance kesenian. Menurut pembimbing kami, kami akan menampilkan 3 kali performance di daerah. Sehingga kami harus merancang sedemikian rupa performance yang akan kami tampilkan. Akhirnya kami sepakat menampilkan lagu Bengawan Solo, Lagu Jepang Kokoro no to Mo, dan Senam Poco-poco. Setelah itu kami pun pergi tidur.
Tokyo, 9 Juli 2008
Setelah sarapan pagi, kami semua meninggalkan hotel menuju Universitas Takushoku. Sesampai di sana, kami semua berkumpul di sebuah ruangan dan diberi kuliah mengenai kehidupan di dan orang Jepang. Yang memberi kuliah adalah Dr.Shimazuka. Sekarang beliau menjabat sebagai wakil direktur Universitas Takushoku, beberapa decade lalu, beliau pernah ditugaskan bekerja di Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat homogen yang memiliki suku asli bernama suku Ainu dan Shinto sebagai agama asli. Selain itu sifat masyarakat jepang adalah disiplin, professional, pekerja keras dan setia pada pekerjaan. Dengan karakter seperti itu, mereka pun menjadi sumber daya manusia yang begitu berkualitas sehingga mampu menjadi bangsa yang maju. Tetapi kelemahan mereka adalah, karena terbiasa dengan masyarakat yang homogen, mereka jadi kurang bisa menerima orang-orang dengan budaya yang berbeda dengan mereka secara mudah. Mereka pun cenderung tertutup dan takut bergaul dengan orang asing. Karakter mereka yang mandiri dan disiplin pun membuat mereka menjadi sosok yang kurang santai dan individualis, sehingga orang-orang kita mungkin dapat mengatakan bahwa mereka kurang menikmati hidup. Setelah menerima kuliah yang cukup membuat ngantuk, kami pun meninggalkan perguruan tinggi tersebut untuk makan siang di restoran Dining Sai. Setelah kenyang mengisi perut, kami menuju Museum Edo Tokyo. Kami pun segera melihat-lihat isi museum yang memang sangat menarik tersebut. Museum yang didirikan pada tahun 1993 itu memiliki 2 zona, yaitu zona Edo dan Zona Tokyo. Zona Edo berisi materi-materi yang ada dan berkaitan dengan zaman Edo, yaitu zaman pada saat Tokyo masih bernama Edo, seperti istana kaisar lama, miniature kehidupan orang-orang zaman Edo, dan lain-lain. Sementara zona Tokyo berisi materi-materi kota Tokyo sekarang. Rasanya kurang waktu yang disediakan untuk mengeksplor museum tersebut, karena waktu kembali ke hotel sudah tiba sebelum kami puas melihat-lihat. Sesampai di hotel, kami beristirahat sejenak sebelum berangkat ke Tokyo Tower untuk makan malam. Setelah makan malam yang cukup lezat, kami masih memiliki waktu sebelum kembali ke hotel lagi. Aku pun memanfaatkannya untuk berfoto-foto di bawah Tokyo Tower dan menikmati keindahan senja. Setelah itu barulah kami kembali ke hotel. Kami semua ingin sekali kembali berjalan-jalan di sekitar kuil sensoji karena kami dengar sedang ada festival di sana. Maka kami sekelompok pun berangkat ke sana selepas pukul 8 dan setelah mengumbulkan barang-barang kami yang akan ditinggal di Tokyo dan tidak dibawa ke daerah. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan berbekal sebuah walkie-talkie per kelompok untuk berjaga-jaga jika salah satu diantara kami tersesat atau tidak bisa kembali ke hotel. Aku satu kelompok dengan Gede, Melly, Amel dan Kak Rena—koordinator kelompok Gifu. Memang waktu itu lingkungan kuil sensoji sedang ramai sekali. Banyak sekali orang berjualan, mulai dari jajanan khas jepang, permen-permen, sampai tanaman hias yang unik-unik. Gede membeli Takoyaki--jajanan berupa gurita panggang, sementara aku, Melly, Amel dan Kak Rena membeli permen lollipop warna-warni yang lucu. Kami juga membeli beberapa buah permen sebagai ‘oleh-oleh’ untuk para pembimbing/koordinator yang sudah berbaik hati mengizinkan kami berjalan-jalan. Sekembalinya kami di hotel, kami segera beristirahat karena besok paginya kami akan berangkat ke daerah.
Tokyo - Gujo, 10 Juli 2008
Setelah sarapan dan check out dari Asakusa View Hotel, kami berangkat ke stasiun Tokyo untuk naik kereta Shinkansen—Bullet Train menuju daerah Gifu, tepatnya di kota Gujo Hachiman. Pagi itu aku merasa kurang sehat, karena perutku rasanya sakit dan aku agak lemas, mungkin aku masuk angin. Aku pun meminum obat yang kubawa dari Indonesia dengan harapan sakitku itu tidak berlangsung lama sehingga aku dapat menikmati perjalanan yang tampaknya akan sangat menarik itu. Di stasiun sekali lagi aku benar-benar terkesan, amat sedikit tenaga manusia yang dipekerjakan. Hampir semuanya serba otomatis. Mulai dari mesin penjual tiket sampai pemeriksa tiket. Arus manusia di tempat itu begitu cepat. Orang-orang berjalan dengan begitu cepat sehingga jika kita berhenti mendadak atau jalan sedikit lambat saja bisa tertabrak. Kereta pun tiba tepat waktu. Kami segera masuk dan menaikkan barang-barang. Interior kereta tersebut tidak jauh berbeda dengan kelas eksekutif kereta antarkota di Indonesia. Hanya saja lebih luas, lebih bersih, dan lebih terawat (terlihat baru). Kereta pun berangkat. Rasanya tidak seperti sedang naik kereta, begitu cepat tetapi halus jalannya. Kami sebenarnya ingin sekali bisa melihat gunung Fuji, tetapi mungkin karena kami semua begitu lelah dan nyamannya kereta, kami semua tertidur. Kami sampai di Gujo dalam waktu sekitar 2 jam. Seorang pendamping dari GIFA bergabung dengan kami beberapa saat sebelum kami turun dari kereta. Ia bernama Ms. Murakami. Sesampainya di sana, kami disuguhi pemandangan yang begitu indah. Kami pun berhenti di sebuah rumah makan untuk makan siang. Setelah itu, kami langsung menuju kantor walikota. Kami disambut dengan begitu hangat oleh tim Gujo Tourism, wakil walikota Mr.Zumi, dan Walikota Gujo Mr.Hioki Toshiaki. Setelah itu, kami langsung melihat dan mengikuti demo Shodoo— kaligrafi Jepang. Kami diajari menulis huruf Jepang yang memiliki arti tertentu. Sulit sekali agar bisa menghasilkan tulisan yang bagus, meskipun begitu kami tetap bersemangat untuk berlatih dan mencoba. Setelah menghabiskan banyak sekali kertas tipis untuk latihan, kami diberi karton tebal sebagai hadiah dan kami diminta menulis huruf terbaik kami. Aku menulis huruf ‘BA-RA’ yang artinya ‘mawar’. Cukup sulit, tetapi hasil tulisanku juga tidak terlalu buruk. Setelah demo shodoo, kami pun mengikuti demo chashitsu—upacara minum teh. Upacara itu begitu unik dan sarat makna. Kami juga sempat ikut membuat dan meminum tehnya. Teh untuk upacara itu biasanya merupakan teh khusus yang dibuat dari tumbukan daun the hijau yang dicampur rumput laut sehingga rasanya pahit-pahit amis. Seusai chashitsu, demo selanjutnya yang kami ikuti adalah Gujo Odori—Tari Gujo. Di perjalanan menuju tempat demo, kami begitu terpesona. Pemandangan begitu indah, dengan bukit-bukit dan sungai yang begitu jernih mengalir. Saat kami berfoto di jembatan Shimizu Bashi yang di bawahnya mengalir sungai Sogi Sui, kamera Dennis—temanku—terjatuh dari atas jembatan. Alhasil kameranya tewas seketika. Setelah insiden itu, kami jadi agak grogi untuk melanjutkan foto-foto. Maka kami pun segera kembali ke jalan yanh benar. Sampai juga di tempat praktek Tari Gujo. Kami memasuki sebuah toko dan kami naik ke lantai dua. Kami disambut oleh seorang pria bernama Kenji. Dialah yang akan melatih kami Tarian Gujo tersebut. Pertama-tama aku melihat tarian itu saat Kenji mencontohkan, kupikir : ‘tarian yang aneh’ . tapi setelah kami sama-sama terus mencoba dan mempraktekkan, ternya tarian itu amat menyenangkan. Sangat unik, karena tarian itu tanpa disadari ternyata secara otomatis membuat kita berjalan berputar dalam sebuah lingkaran, dan tarian itu ternyata sudah ada selama 400 tahun. Kami terus menari dan bergembira sampai berkeringat walaupun itu hanyalah latihan. Seusai latihan kami diberi kenang-kenangan berupa kartu Tarian Gujo yang gambarnya amat lucu. Itu semakin melengkapi berbagai kenang-kenangan yang sudah kami dapat yaitu sebuah kipas dan karton kaligrafi tadi. Kami pun makan malam di sebuah restoran yang sudah di-booking khusus untuk kami semua. Makanan di situ amat banyak, sehingga seusai kami semua makan pun masih banyak sisanya, dan kami bawa pulang ke hotel. Kami pun tiba di Bussiness Hotel Gujo Hachiman Inter. Hotel itu tidak sebesar dan semewah Asakusa View, maklum lah, ‘kan di daerah. Kami mendapat kamar rata-rata seorang sekamar, termasuk aku. Kamarnya agak kecil, tetapi tampaknya nyaman. sebelum pergi tidur, kami semua turun ke lobi untuk membicarakan tentang performemce kesenian lebih lanjut, karena keesokan harinya kami sudah akan menampilkannya pada saat melakukan kunjungan ke SMA. Kami pun berjalan dengan kesepakatan terakhir, tetapi dengan tambahan satu lagu : Rek Ayo Rek, yang akan ditampilkan oleh anggota kelompok yang dari Surabaya yang memang sudah berlatih secara khusus untuk lagu tersebut. Jadi, susunan performance-nya adalah : dibuka dengan Bengawan Solo, disusul Rek Ayo Rek, lalu Senam Poco-poco, baru yang terakhir bersama-sama menyanyikan Kokoro no To Mo. Kami pun berlatih sampai larut malam. Mau tidak mau kami terus berlatih, karena Kak Rena sedang kumat (keluar tanduknya—marah-marah terus).
Gujo, 11 Juli 2008
Setelah sarapan pagi yang benar-benar enak (hot cake dan susu hangat), kami yang sudah berseragam sekolah masing-masing dan berkemas untuk acara homestay berangkat menuju SMAN Gujo. Kami begitu bersemangat untuk bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak Jepang seusia kami. Sesampainya kami di SMAN Gujo, aku langsung terpesona. Bangunan dan lingkungan SMA negeri di kota kecil tersebut besar dan luasnya hampir 3 kali luas sekolahku di Surabaya yang notabene adalah kota terbesar kedua di Indonesia. di depan piintu masuk, kami harus mengganti sepatu kami dengan itabaki—selop khusus di dalam sekolah. Kami masuk ke ruang kepala sekolah SMA tersebut. Setelah coordinator dan pembimbing kami berbincang-bincang sedikit dengan sang kepala sekolah, kami pun pindah ke aula untuk acara penyambutan. Tak lama setelah kami masuk, satu angkatan siswa-siswi SMAN Gujo juga masuk ke aula itu. Setelah beberapa sambutan dari pihak sekolah dan pihak kami, para siswa SMAN Gujo menampilkan sebuah paduan suara. Meskipun tidak fantastis, tetapi cukup bagus. Terutama dirigennya, aku amat kagum dengan gayanya, karena aku juga seorang dirigen di paduan suara sekolahku. Kami juga diberi kenang-kenangan oleh mereka, yaitu sebuah kipas yang indah. Tibalah giliran kami yang menampilkan performance kesenian. Awalnya kami begitu grogi. Karena selain itu merupakan yang pertama kali kami tampil, juga kami tampil secara acapella, sehingga kami khawatir jika suara kami fals. Usai menyanyikan dua lagu, Bengawan Solo dan Rek Ayo Rek, kami menampilkan senam poco-poco. Ditengah-tengah senam, kami mengajak beberapa siswa SMAN Gujo untuk maju dan kami ajari senam poco-poco. Mereka begitu heboh dan excited. Para siswa yang ikut maju kami beri souvenir setelah selesai senam. Para siswa pun bubar dan kembali ke kelas masing-masing. Kami juga ikut berjalan menuku gedung pelajaran. Sesampai di sana, kami dibagi dua kelompok, satu kelompok mengikuti kelas conversation, lainnya masuk ke kelas melipat origami. Aku masuk ke kelas conversation terlebih dahulu bersama Gede, Amel, Melly, Rifky, Dilla, Ahmad, Tari, Ika, Devi, dan Mega. Pertama tama kami diberi selembar excerpt—teks bacaan, kemudian kami diminta untuk melakukan shadowing—mengikuti cara membaca native speaker yang diperdengarkan dari sebuah kaset. Setelah itu kami melakukan interaksi dengan bercakap-cakap berbahaa inggris dengan siswa di sana. Beberapa anak bahasa inggrisnya cukup baik untuk ukuran siswa kelas satu SMA. Tetapi untuk pronunciation mereka cukup berkendala. Tetapi aku rasa secara keseluruhan, kemampuan bahasa inggris anak Indonesia seumur itu lebih baik dari anak Jepang. Dari kelas conversation kami pindah ke kelas shodoo, sekali lagi kami diajari menulis kaligrafi jepang. Namun kali ini yang mengajari adalah siswa SMAN Gujo. Kami diajari menulis huruf-huruf hiragana dan katakana dasar. Setelah berkutat dengan kuas dan tinta, kami pindah ke kelas melipat origami. Aku sudah mengetahui origami dan bisa membuat beberapa bentuk dari kertas tersebut sejak aku kecil. Walau begitu aku tetap antusias mengikuti kelas tersebut. setelah membuat beberapa bentuk origami, kami mengambil kesempatan berfoto bersama mereka beberapa kali. Tetapi tiba-tiba pak William memanggil kami semua pertanda sudah waktunya pindah kelas. Kami kembali dibagi menjadi dua kelompok, kelompok anak-anak yang mengambil jurusan IPA menuju ke kelas Fisika, sementara jurusan IPS menuju kelas multimedia. Karena aku termasuk jurusan IPS, maka aku dan yang lain segera menuju ke ruang computer. Di sana kami difoto, lalu foto itu kami edit dan dimasukkan dalam frame yang seperti produk beer. Keren sekali. Setelah selesai, foto dicetak dan diberikan kepada kami. Tiba waktunya untuk kembali mengisi energi setelah setengah hari beraktifitas. Kami semua menuju ke sebuah ruangan yang dilengkapi dengan berderet-deret kursi dan meja dan satu set perlengkapan presentasi berupa LCD dan layarnya. Sampai sekarang aku tidak tahu tepatnya ruangan apakah itu. Lalu sepertinya 4-5 kelas siswa-siswi SMAN Gujo menyusul masuk ke ruangan itu sambil membawa box makanan untuk kami dan milik mereka sendiri. Kami pun makan siang bersama dan saling berbagi baik makanan maupun cerita. Selesai makan, kami semua berfoto bersama-sama. Kami kembali dipisah menjadi dua kelompok : IPA dan IPS. Kelompok IPA menuju ke kelas matematika, sementara kelompok IPS menuju ke Home-Economy Class. Awalnya kukira kami akan pergi ke kelas biasa dan mendengarkan guru mengajar dengan membosankan, karena kelompok IPA yang pergi ke kelas fisika tadi diajar dengan cara seperti itu, ternyata kami memasuki sebuah ruangan seperti dapur lengkap dengan meja-kursi makan dan peralatan memasak lainnya. Kami akan membuat minuman segar yang berisi sesuatu seperti bola-bola cenil (isi minuman ronde), nata de coco, dan agar-agar. Bola-bola cenil tersebut kami buat sendiri dengan membentuk dari tepung dan direbus. Setelah jadi, rasanya enak dan segar sekali. Kami meminumnya bersama-sama sambil bercanda-canda. Kami kembali digabungkan menjadi satu di sebuah ruangan untuk beristirahat dan sholat. Setelah itu kami berkeliling sekolah dan melihat-lihat kegiatan para siswa seusai sekolah atau yang lebih dikenal dengan ekskul atau club. Pertama kami melihat club chashitsu, lalu beralih ke klub olahraga lapangan, yaitu baseball, sepakbola, dan tennis. Lalu kami menuju ke ruang club bela diri yaitu kendo dan judo, di perjalanan kami melihat klub marching band sedang berlatih. Setelah dari aula bela diri, kami pergi ke aula olahraga indoor, yaitu basket dan voli. Siswa-siswi begitu bersemangat berlatih. Setelah seharian berkeliling sekolah, tiba waktunya kami diperkenalkan dengan keluarga homestay kami. Beberapa diantara kami mendapatkan orang tua homestay untuk dirinya sendiri, dan sisanya untuk dua diantara kami. Orangtua homestay-ku dan Mega bernama keluarga Shimazaki, mereka terdiri dari tiga orang anggota keluarga. Sang ayah yang adalah seorang direktur ternyata sedang melakukan dinas kerja ke Korea, sehingga sang ibu-lah yang menjemput kami. Kesan pertamaku adalah, mereka amat ramah dan tampaknya baik hati. Kami pun mengambil barang-barang kami dan segera berangkat ke tempat homestay setelah mengucapkan sampai jumpa kepada teman-teman yang lain. Sampailah kami di rumah keluarga Shimazaki. Seperti yang sudah kubayangkan, rumahnya bergaya tradisional Jepang tampak dari luar. Kami pun masuk dan meletakkan barang-barang kami. Seorang wanita yang ternyata adalah anak dari si ibu menyambut kami dengan ramah. Interior rumahnya pun masih bergaya tradisional, tetapi perabotnya sudah banyak yang modern. Terutama perabot elektronik. Seperti TV plasma 40”, kulkas dua pintu, kloset otomatis, dan shower + bathup modern. Belum sempat kami berganti baju dan unpack, mereka sudah mengajak kami untuk makan malam di luar. Kami makan di sebuah restoran kecil. Makanannya cukup enak, tetapi aku tidak menghabiskanya karena begitu banyak porsinya. Selama makan kami tidak ngobrol terlalu banyak karena mereka hanya bisa berbahasa inggris amat sedikit, begitupun kami, hanya bisa berbahasa jepang sangat sedikit sekali. Tetapi paling tidak ada kamus yang bisa membantu kami berkomunikasi walaupun tetap saja agak repot dan sulit. Sepulang dari makan malam, kami ditunjukkan dimana kami tidur dan cara menggunakan shower. Kami pun segera bersih-bersih dan unpack. Tidak lama, aku dan Mega memberikan cinderamata dari Indonesia. Ibu amat senang menerimanya dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Aku memberikan dua pasang sandal bermotif batik dan beberapa pernik-pernik, sementara Mega memberikan pajangan berupa sepasang wayang golek Arjuna dan Srikandi. Ibu langsung memajangnya di depan pintu masuk. Setelah itu kami pun pergi tidur.
Gujo, 12 Juli 2008
Aku bangun agak siang. Mungkin karena terlalu lelah di hari sebelumnya. Akupun mencuci mukaku dan pergi ke toilet. Saat aku membuka pintu toilet, aku amat kaget karena penutup kloset membuka sendiri. Sewaktu akan membasuh, terdapat begitu banyak jenis tombol di tembok sisi kloset. Ada tombol basuh kecil, besar, dan bidet—tombol basuh wanita. Ada juga tombol pengering dan pengatur suhu air serta dudukan kloset. Begitu aku berdiri dan akan menyiram, kloset itu menyiram dengan sendirinya, benar-benar canggih. Belum sempat aku bersiap untuk mandi, ibu sudah mengajak kami pergi keluar mencari sarapan. Karena malas memakai sepatu, aku memakai sandal high heelsku dengan pikiran hanya sebentar karena kukira hanya akan pergi sarapan. Kami berempat berangkat ke kafe sarapan menggunakan mobil yang berbeda dengan mobil yang dipakai menjemput kami dan makan malam kemarin. Kemarin kami menumpang Honda Fit sementara hari ini sebuah Toyota Harrier mengangkut kami semua. Makanan yang disajikan di kafe tersebut adalah sepotong roti bakar, telur setengah matang, semangkuk sup misoshiru, dan segelas es susu. Setelah sarapan, ternyata kami langsung diajak ke toko elektronik karena malam sebelumnya Mega meminta untuk diantar kesana karena ingin membeli kamera. Cukup lama di toko itu karena Mega bimbang apakah jadi membeli atau tidak. Karena uangnya tidak cukup untuk membeli sebuah kamera digital, maka orangtua homestay pun membelikannya dengan fifty-fifty. Mereka sebenarnya juga menawarkan padaku, tetapi aku menolaknya dengan halus. Setelah dari toko elektronik, ternyata mereka langsung membawa kami ke pusat wisata yang ternyata bertempat di sekitar jembatan Shimizu Bashi kemarin! Ibu memarkirkan mobilnya, dan kami berjalan menuju entah-ke-mana. Setelah melihat sekeliling, aku baru menyadari kalau itu adalah daerah tempat kami mengikuti latihan Gujo Odori. Kami pun masuk ke toko itu. Aku sudah berharap bisa bertemu lagi dengan mas Kenji, orang yang mengajari kami tarian Gujo. Tetapi sepertinya dia tidak ada. Lalu ibu berkata bahwa aku boleh memilih satu dari Getta’—sandal bakiak khas Jepang dan beliau akan membelikannya. Setelah aku mendapatkan getta, kami keluar dari toko tersebut. kami berjalan menyusuri pertokoan sekitar, kadang berhenti ke sebuah bangunan unik yang ternyata adalah sebuah museum kecil. Hampir seluruh toko dan museum di sini pintunya sudah memakai pintu otomatis yang membuka dan menutup sendiri atauun dengan tombol. Museum pertama adalah museum kerajinan kertas di Yudokan. Di situ terdapat benda-benda berbentuk binatang-binatang, orang-orang yang sedang menari Gujo Odori, dll. Semuanya itu adalah handmade atau buatan tangan. Setelah itu kami masuk ke museum barang-barang kuno peninggalan seorang samurai yang mungkin adalah leluhur pemilik museum tersebut. setelah itu, kami dibelikan soft ice cream rasa campuran melon-vanilla yang amat segar diminum pada hari sepanas itu. Kami terus berjalan. Aku semakin kagum dengan lingkungan sekitar di kota Gujo tersebut. begitu bersih dan meskipun hawa amat panas, tetapi tetap segar karena tidak ada polusi udara, begitupun perairannya yang amat jernih, menandakan bahwa tidak ada juga yang namanya polusi air. Kalau menurutku, hampir semua penduduk kota Gujo yang notabene adalah kota kecil itu, memiliki mobil. Keluarga homestay-ku saja memiliki 4 mobil. Tetapi hebatnya, tidak ada polusi udara dan kemacetan lalu lintas. Kakiku mulai sakit karena aku tidak terbiasa berjalan jauh menggunakan hak tinggi. Sementara kami terus berjalan ke beberapa toko dan spot-spot menarik di sana. Tengah hari, kami mampir ke sebuah warung ramen di dekat situ. Aku makan soba telur dan Mega makan ramen ayam. Tiba-tiba pintu warung membuka, sesosok orang yang kukenal masuk. Ternyata mereka adalah Ahmad dan orangtua homestay-nya. Mereka pun bergabung dengan kami. Ahmad bercerita kepadaku bahwa ia juga dibelikan getta’ dan rumah orangtuanya ternyata tidak jauh dari situ. Dia juga bercerita tentang keluarga homestaynya. Kami saling bertukar cerita. Setelah selesai makan, kami berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Hari begitu terik, tetapi aku tidak begitu merasa terganggu karena sudah biasa kepanasan di Surabaya. Ibu dan kakak homestayku memakai paying masing-masing dan berjalan di depan, sementara kami mengikuti di belakang tanpa payung. Aku bisa maklum karena mungkin itu memang sifat orang Jepang yang individualis. Sesampai di rumah, aku begitu lega karena akhirnya kakiku yang sudah amat sakit dari tadi ini bisa diistirahatkan. Aku meletakkan barang-barang belanjaan dan segera mandi karena cuaca begitu panas membuatku berkeringat dan lelah. Setelah mandi, aku membereskan barang-barangku dan tanpa sadar aku tertidur. Saat aku bangun, ternyata sudah tiba waktunya makan malam. Astaga! Aku tertidur lama sekali seperti kebo. Sekali lagi kami pergi keluar untuk makan malam. Kami makan di sebuah restoran yang interiornya indah sekali dan ternyata makanannya juga enak. Saat makan, kami bertemu dengan seorang ibu-ibu yang membawa dua orang anak perempuannya yang masih kecil-kecil. Mereka juga makan dan bergabung di meja kami. Ternyata mereka masih saudara dengan ibu homestayku. Anak-anak perempuannya begitu lucu dan menggemaskan. Seusai makan, ternyata kami—aku, Mega, ibu, dan Ayaka-chan (anak perempuan yang lebih besar) langsung pergi onsen—berendam ala Jepang di tempat onsen sebelah restoran. Aku begitu tertarik dengan onsen karena sebelum berangkat ke Jepang guru bahasa Jepangku banyak bercerita tentang onsen. Ternyata benar apa yang diceritakan guruku, saat berendam kami sama sekali tidak mengenakan pakaian. Seluruh pakaian sudah ditanggalkan sejak berada di ruang locker. Sebelum masuk berendam, ternyata harus mandi terlebih dahulu, berbeda dengan di sini yang mana berenang dulu sebelum mandi. Selesai mandi aku pun segera berendam. Enak sekali berendam di sana. Pemandiannya terbuat dari batu-batuan alam, airnya begitu hangat, serta tersedia perosotan dan kolam yang airnya bergelegak untuk menghilangkan capek-capek. Setelah berendam kurang lebih satu jam. Kami pun selesai. Sepulang dari onsen, ternyata kami akan pergi ke festival Gujo Odori. Aku dan mega dipakaikan kimono yang indah sekali. Ayaka-chan juga memakai yukata—kimono musim panas sehingga ia tampak lucu sekali. Kami pun berangkat ke festival. Sesampai di festival, ayaka-chan tertidur, jadi ia ditinggal di mobil dulu bersama kakak. Aku, Mega, dan ibu lebih dulu berjalan ke tempat festival. Di sana begitu ramai. Aku bertemu banyak sekali teman-teman dari Indonesia: Ika, Tari, Melly, Amel, Gede, Ririn, Dennis, Rifky dan Ahmad, mereka saling memperkenalkan keluarga homestay mereka. Kami juga bertemu dengan para coordinator dan pendamping: kak Rena, pak Agung, pak Kuswan, pak William, bahkan Ms.Murakami. Kami semua menari dan bergembira di festival itu.
Gujo, 13 Juli 2008
Aku terbangun sekitar pukul 8 pagi itu. Berbeda dari biasanya, ibu sepertinya sudah menyiapkan sarapan untuk kami di rumah. Sarapannya adalah nasi goreng dan telur serta misoshiru. Setelah serapan, aku segera mandi dan membereskan barang-barangku kerena kakak berkata bahwa kami akan berangkat ke acara perpisahan pada pukul 10. Mengingat sifat orang Jepang yang disiplin waktu, berangkat pukul 10 untuk acara yang pukul 11.30 adalah merupakan hal yang wajar. Setelah semua barang-barangku masuk ke dalam tas, tiba-tiba ibu memanggil kami berdua. Beliau berkata kepada kami bahwa beliau tidak dapat ikut mengantar kami ke pesta perpisahan, karena ada urusan kerja. Lalu ibu memberi kami masing-masing sebuah bingkisan kenang-kenangan. Setelah saling mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal, beliau pun pergi. Pukul 10.15 kami berangkat dari rumah dengan pakaian kebaya karena memang merupakan dresscode untuk pesta perpisahan. Setelah memasukkan barang-barang ke mobil, kami berangkat. Di tengah-tengah perjalanan, aku agak merasa bingung karena kakak membawa kami masuk ke hutan kecil dan menaiki bukit. Lalu kakak memarkir mobil di sebelah papan bertuluskan : WELCOME TO GUJO HACHIMAN CASTLE. Astaga, ternyata kakak membawa kami ke kastil Gujo Hachiman! Aku pun segera mengganti sandal hak tinggiku yang tadinya kupadukan dengan kebaya ini dengan sepatu kets. Aku tidak mau kejadian kemarin (kakiku sakit dan pegal-pegal) sampai terulang lagi, mengingat jalan menuju kastil itu menanjak dan berbatu-batu. Kami pun berjalan menuju ke dalam lingkungan kastil. Kami masuk ke bangunan kastil. Di dalam kastil banyak sekali terdapat benda-benda peninggalan, seperti baju perang dan senjata-senjata, juga poster yang berisi profil para jenderal/gubernur kastil dari waktu ke waktu. Setelah puas melihat-lihat isi kastil, aku melongok ke luar jendela. Wow, pemandangan yang amat indah. Aku bisa melihat kota Gujo dari atas, termasuk bukit-bukitnya yang hijau dan sungainya yang berkelok-kelok. Kami meninggalkan kastil dan menuju Hotel Sekisuien yang mana adalah tempat perpisahan. Sesampainya di sana, kami menurunkan barang-barang dari mobil dan masuk ke lobby. Kami bertemu semua teman-teman kami beserta orangtua homestay-nya dan para staf GIFA dan pembimbing kami. Kami meletakkan barang-barang di sebuah ruangan dan kami langsung menuju tempat pesta. Kami kembali saling berkenalan dengan para keluarga homestay. Gede mengenalkan aku dengan kakak homestaynya yang seusia denganku, ia bernama Kosho. Aku melihat ke sekeliling, kakak homestayku tidak ada! Aku bertanya kepada Mega, ia juga tidak melihat kakak homestay kami. Kami merasa sedikit kecewa, tetapi kami tetap mengikuti pesta. Di pesta perpisahan itu, kami semua bergembira bersama, makan dan ngobrol serta berfoto bersama, menari Gujo Odori, kembali menampilkan performance kesenian, dan bersulang untuk kita semua. Sedih memang berpisah dengan kehangatan keluarga homestay, tetapi entah mengapa muncul satu perasaan dalam diriku yang mengatakan bahwa kami pasti akan bertemu lagi. Setelah pesta usai, kami barganti baju dan langsung kembali mengikuti jadwal. Jadwal kami berikutnya adalah kunjungan ke tempat praktek pembuatan sample produk. Tempatnya yang disebut sample kobo itu ternyata masih di sekitar pusat kesenian Gujo di mana festival Gujo Odori dilaksanakan dan kami berjalan-jalan kemarin. Saat masuk ke dalam sample kobo, kami semua diminta memakai celemek. Lalu seorang petugas mempraktekkan pembuatan tempura dari plastic dan lilin di depan kami semua. Setelah itu kami pun mencoba membuat sample tempura sendiri dengan udang dan bahan lain yang terbuat dari plastic dan dibungkus dengan tepung crispy yang terbuat dari lilin. Setelah semua selesai, kami menuju dapur belakang untuk melihat petugas yang membuat lebih banyak dan bermacam-macam sample produk makanan. Ada onigiri—nasi kepal, kue mochi, sushi, kue dorayaki, dan lain-lain. Semuanya amat mirip dengan makanan yang asli. Di bagian depan sample kobo, ada sebuah workshop yang menjual oleh-oleh berbentuk sample produk. Aku membeli beberapa gantungan kunci berbentuk macam-macam makanan jepang. Setelah dari sample kobo, kami berjalan dan menuju…Yudokan! Padahal kemarin aku dan keluarga homestayku sudah ke sana. Tetapi, yang berbeda, kali ini kami dipertunjukkan demo membuat kerajinan kertas oleh pemilik Yudokan langsung. Beliau ini sudah amat terkenal seantero Jepang. Beliau bisa membuat berbagai macam bentuk dari selembar kertas yang digunting-gunting tanpa putus dalam waktu kurang dari semenit! Kreatif dan mengangumkan sekali. Seusai demo, kami berfoto-foto di sekitar Yudokan dan bersama sang seniman. Tampaknya waktu makan malam tiba. Kami semua sekali lagi berhenti di tempat yang sudah pernah kukunjungi bersama keluarga homestayku—restoran Ogatama! Restoran yang mana terletak di sebelah tempat onsen. Kami pun makan malam sambil melepas kerinduan dengan teman-teman dan para staf JICE dan GIFA setelah berpisah selama homestay kemarin. Setelah makan, temanku, Melly ingin bermain piano yang ada di restoran itu. Maka ia pun bermain dan kami bernyanyi bersama dengan gembira. Kami sampai di Bussines Hotel Gujo Hachiman Inter untuk check in lagi. Aku meletakkan barang-barangku di dalam kamar dan mandi berendam di bak yang kecil untuk sekedar melepas lelah. Tiba-tiba Gede, Melly, Amel, Dilla, Rifky dan Ahmad menyeruak masuk ke kamarku yang sempit itu. Mereka ternyata ingin berpesta pop mie sambil begadang dan curhat semalaman. Selesai mandi aku pun ikut bergabung dengan mereka berpesta pop mie sampai pukul 2 pagi dan tertidur.
Gujo, 14 Juli 2008
Aku kembali menikmati sarapan favoritku—hot cake dengan saus caramel dan whipped cream, dan ice milk. Kami semua sarapan dengan mata masih setengah mengantuk karena sepertinya semua anak tadi malam begadang sampai pagi. Setelah sarapan, kami semua berangkat untuk trekking di hutan Kayugawa. Sesampai di sana, kami berjalan-jalan di sekitar hutan. Udara di sana amat sejuk dan segar. Kami berfoto-foto dan terus berjalan mendaki bukit hutan. Alamnya benar-benar indah. Lalu kami turun ke tempat air terjun. Aku melepas sepatuku dan turun ke air. Waaw! Dingin sekali seperti es. Setelah puas main air, kami pun selesai berjalan-jalan. Sudah tengah hari, kami pun pergi ke tempat makan siang. Ternyata kami akan makan mi dingin. Ya, mi yang disajikan memang dingin. Karena cara penyajiannya adalah dengan mengalirkan mi itu di saluran seperti pipa yang berisi air dingin yang mengalir. Cara makannya juga unik tetapi amat mudah, kita tinggal mencelupkan sumpit di saluran tersebut dan dengan sendirinya mi akan tersangkut di sumpit. Lalu kita celupkan dalam gelas bumbu dan kita lahap. Selesai makan, kami membeli es krim untuk pencuci mulut. Lalu kami kembali ke bus untuk selanjutnya menuju ke SLB Gujo. Diperjalanan menuju SLB Gujo, kami semua tertidur karena kelelahan dan cuaca yang sangat panas. Sesampainya di SLB, kami semua masih amat mengantuk. Tapi kami tetap berganti pakaian untuk selanjutnya mengikuti acara di SLB tersebut. Kami memasuki aula serbaguna. Para siswa di sana sudah lebih dulu siap. Aku melihat bahwa sekolah tersebut menerapkan system one student one teacher, sehingga masing-masing siswa mendapatkan bimbingan yang optimal. Kami pun duduk di tempat yang sudah desediakan. Lalu kak Rena dan aku membacakan sambutan setelah kepala sekolah. Setelah itu tibalah waktunya kami menampilkan performance. Ternyata di sana terdapat keyboard, sehingga Melly dapat memainkannya saat lagu Rek Ayo Rek. Tetapi sayangnya keyboard itu tidak beraturan nadanya, jadi kami agak kesulitan saat menyanyi. Saat waktunya menyanyikan lagu Kokoro no to Mo, Melly memainkan grand piano yang ternyata ada. Sesudah itu, giliran siswa dari SLB Gujo yang mempertunjukkan penampilan. Terharu rasanya melihat anak-anak yang memiliki fisik maupun mental yang kurang sempurna itu menampilkan dengan begitu percaya diri. Apalagi saat mereka menampilkan paduan suara dengan lagu berjudul Tsubasa Kudasai—Aku Minta Sayap. Aku dan beberapa teman-teman sangat tersentuh dan mencucurkan air mata. Setelah mereka selesai, kami semua membentuk lingkaran besar dan berbaur bersama-sama untuk sekali lagi menarikan Gujo Odori. Saat kami akan meninggalkan SLB, aku memberikan souvenir kepada salah satu anak, ia adalah anak yang berada di sebelahku saat menari Gujo Odori. Kami semua pun masuk ke bus. Mereka semua mengucapkan selamat tinggal dan melambai kepada kami. Kami terkesan sekali. Bus pun melaju menuju ke Gujo Clean Center. Sesampai di sana, kami diberikan presentasi tentang berbagai proses pengolahan sampah sehingga dapat kembali dijadikan benda-benda baru. Juga pemilih-milahan sampah yang ternyata sudah dilakukan mulai dari tingkat rumah tangga. Jepang sudah mulai peduli dan amat memberhatikan lingkungan beberapa decade terakhir ini. Karena mereka pernah mengalami kerusakan lingkungan yang cukup parah sehingga menyababkan munculnya bermacam-macam penyakit yang bahkan dapat mengakibatkan kematian. Setelah presentasi selesai, kami pun keluar dari ruang presentasi. Kami diperbolehkan mengambil barang-barang yang disediakan di sana seperti piring, gelas dan mangkuk yang masih baru dan lucu motifnya. Ternyata, barang-barang tersebut adalah hasil daur ulang! Kami berkeliling tempat itu dan melihat mesin-mesin pengolah sampah serta proses pemilahan sampah yang dilakukan baik secara manual (tenaga manusia) atau otomatis (tenaga mesin). Setelah itu kami keluar dan melihat cerobong emisi pengolahan serta indicatornya. Seandainya Indonesia memiliki clean center seperti ini, pasti tak akan ada lagi pemborosan sumber daya alam dan pengrusakan lingkungan. Sepulang dari Clean Center, kami menuju Training room Hachiman Bosai Center untuk melakukan workshop, yakni diskusi tentang hasil pengamatan kami selama berada di Jepang. Kami berdiskusi dengan serius dan saling menyatakan pendapat, dengan Rifky sebagai moderator dan Ria sebagai notulen. Pada akhir diskusi kami sudah memiliki beberapa point kesimpulan. Beberapa point itu akan aku rangkum menjadi satu presentasi dan akan aku bacakan pada waktunya nanti, sesuai dengan tugasku sebagai presenter. Kami makan malam di restoran Ryukyo, di mana kami dulu makan di malam pertama di kota Gujo. Setelah makan malam kami tidak langsung pulang, tetapi para staf dari GIFA meminta kami untuk memberikan kesan-kesan spontas secara lisan selama berada di Gujo serta kesan-kesan tentang keluarga homestay. Mayoritas dari kami memberikan kesan yang amat menyenangkan dan mengasyikkan, dan itu memang benar. Lalu kami kembali bernyanyi bersama di sebelah grand piano yang dimainkan Melly. Malam itu kami semua bergembira. Kami kembali ke hotel dan kembali berpesta pop mie karena itu adalah malam terakhir kami di Gujo. Tetapi kami juga sekaligus packing koper dan barang-barang kami yang sudah mulai beranak.
Gujo – Tokyo, 15 Juli 2008
Setelah menikmati hot cake manis untuk terakhir kalinya, aku dan semua teman-teman berkumpul di lobby untuk check out. Sebagian besar staf dari GIFA datang untuk memberikan kenang-kenangan dan mengucapkan selamat tinggal. Kami semua saling mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa. Sebelum berangkat kami berfoto bersama di depan hotel. Kami semua amat sedih karena harus berpisah dengan mereka yang sudah amat sabar dan baik hati mendampingi kami. Bus pun bergerak menuju ke stasiun Gifu, kami semua melambaikan tangan kepada mereka sampai bus sudah sangat jauh—sampai mereka sudah tak terlihat lagi. Kami tiba di stasiun Gifu 1,5 jam sebelum keberangkatan kereta. Jadi kami memiliki banyat waktu untuk digunakan berfoto atau membeli camilan. Setengah jam sebelum keberangkatan, kami sudah siap menunggu di pinggir rel. Beberapa Shinkansen melaju amat kencang melewati kami. Tak lama kemudian kereta kami tiba, kami cepat-cepat masuk dan meletakkan barang-barang kami. Setelah kami semua duduk, kami dibagikan nasi kotak Jepang dan teh hijau kotak untuk makan siang. Sekitar 15 menit kereta melaju, Ms.Murakami pun berpamitan. Ia akan turun di stasiun berikutnya. Kami pun saling mengucapkan salam perpisahan. Lagi-lagi kami tertidur setelah kenyang makan dan begadang semalaman. Begitu kami bangun ternyata kami sudah hampir sampai di Tokyo. Saat itu adalah sekitar pukul 1 siang. Begitu turun dari kereta, staf JICE Tokyo sudah siap menjemput kami. Kami berjalan cukup jauh dari stasiun menuju tempat parkir bus. Terasa sepertinya lebih jauh karena kami berjalan dengan barang bawaan kami yang amat berat dan di tengah cuaca yang amat terik dan panas. Maka dari itu, saat melihat bus kami, aku seperti melihat oase di tengah padang pasir. Kami langsung menuju distrik Harajuku. Kami semua merasa amat antusias karena sebentar lagi kami akan berada di pusat fashion anak muda seantero Jepang. Begitu sampai, kami langsung menyerbu toko-toko di sana dan berbelanja sepuasnya. Saking asyiknya berbelanja, beberapa di antara kami sampai lupa waktu. Akibatnya kak Rena kembali kumat. Sepanjang perjalanan ke NHK Studio Park kami diomeli. Anak-anak yang terlambat hingga setengah jam dihukum tidak boleh jalan-jalan malam nanti. Sampai di NHK Studio Park kami ditunjukkan segala kegiatan yang berbau broadcasting, mulai dari pembacaan berita, shooting, mixing studio, dubbing, blue screen, sampai 3D video. Aku mendapat kesempatan untuk membacakan berita di sana. NHK merupakan TV nasional Jepang, seperti TVRI di Indonesia (milik pemerintah), bedanya NHK masih banyak peminatnya dan penontonnya. Dalam keadaan darurat, NHK memiliki hak khusus untuk mengganti channel seluruh televisi di Jepang menjadi NHK, karena NHK merupakan satu-satunya channel yang memiliki hak untuk menyiarkan keadaan darurat/ jika saat terjadi bencana. Setelah puas melihat-liat NHK Studio, kami ke restoran Nippon Seinenkan untuk makan malam. Lalu kami kembali ke Asakusa View Hotel untuk check in. Malam itu kami (yang tidak dihukum) berjalan-jalan lagi di lingkungan kuil Senso-ji. Tetapi saat itu di sana begitu sepi, karena sedang tidak ada festival, sehingga toko-toko pun tutup lebih awal. Kami pun harus puas hanya dengan pergi ke mini market dan menikmati angin malam. Sampai di hotel, aku langsung mandi berendam untuk melepaskan lelah dan pegal. Aku pergi ke kamar pak Kuswan untuk membahas presentasi workshop. Lalu tak disangka, beliau menawarkanku untuk telepon ke Indonesia menggunakan laptopnya. Aku senang sekali, karena selama di Jepang, aku belum pernah berkomunikasi melalui telepon dengan orang-orang terdekatku. Segera saja kutelpon ibu dan pacarku. Lalu Melly dan Amel yang mengetahui hal itu langsung antre untuk menelpon juga. Setelah selesai dengan bahan presentasiku, aku mengucapkan terima kasih dan selamat tidur pada pak Kuswan dan kembali ke kamarku untuk tidur dengan hati yang berbunga-bunga.
Tokyo, 16 Juli 2008
Setelah sarapan favorit kami (prasmanan) di ruang Hishou Hotel Asakusa View, kami berangkat menuju Odaiba City. Tepatnya kami akan mengunjungi Museum of Innovation and Emerging Science. Sesampai di sana, banyak juga anak-anak seumuran kami yang melakukan kunjungan ke museum itu. Saat masih di luar, aku merasa biasa-biasa saja. Begitu masuk, aku amat takjub dan begitu antusias. Rasanya aku ingin melihat dan mencoba semua benda pameran yang ada. Benar-benar Jepang! Benda-benda yang dipamerkan di science area begitu keren namun intinya adalah memang science--ilmu pengetahuan. Benar-benar susah diungkapkan dengan kata-kata. Mulai dari video Big Bang—terciptanya alam semesta, gambaran sel-sel mikroskopis, video pembelahan sel hingga menjadi makhluk hidup, proses pembedahan, cara kerja CT scanner, dan masih banyak lagi. Aku masih ingin melihat-lihat science area, tetapi waktu terbatas sehingga aku beralih ke innovation area. Di sana aku lebih takjub lagi. Banyak sekali benda-benda canggih yang dipamerkan. Mulai dari replica pesawat (kita bisa masuk ke dalamnya lho!), showroom keadaan bumi dan langit saat itu yang berbentuk globe dengan gambar proyeksi keadaan bumi sebenarnya, penjelasan di layer touchscreen tentang iklim, cuaca, dan segala fenomena alam, message ball circuit, game computer 3D, blurring screen, boneka hewan dengan sensor sentuhan, voice expression phone, sampai yang paling canggih adalah demo robot terbaru dari Honda—ASIMO. Seri Asimo yang paling mutakhir ini sudah bisa berlari secepat 6 km/jam. Lebih sempurna dari edisi sebelumnya yang untuk berjalan saja masih membutuhkan waktu 30 detik untuk berpikir/loading. Jepang memang benar-benar hebat! Waktu untuk kami mengobservasi museum tersebut sudah hampir habis, tetapi aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat toko souvenir museum. Harga di toko itu cukup mahal, tetapi barang-barangnya memang lucu-lucu. Aku membeli sebuah gantungan berbentuk miniatur Asimo. Lucu sekali, aku langsung memasangnya sebagai gantungan ponselku. Dari Museum kami kembali naik bus menuju ke Aquacity Mall untuk makan siang dan berbelanja. Kami makan gulai ayam dan tumis tahu di restoran Indonesia ‘Surabaya’. Aku amat rindu rasa kuat rempah-rempah khas masakan Indonesia. Selesai makan kami langsung berkeliling mal untuk berbelanja. Aku membeli sebuah tas berbentuk gitar yang lucu sekali dan sebuah mini kimono. Aku juga menemani Gede hunting jam tangan. Aku berbelanja penghabisan di sana. Kami tidak lagi terlambat berkumpul setelah berbelanja. Setelah semua berkumpul, kami kembali ke hotel untuk mengisi kuisioner setelah program di Jepang dan penjelasan mengenai kepulangan ke Indonesia. Aku kembali ke kamar sesudah selesai mengisi kuisioner untuk selanjutnya menyicil packing barang-barangku. Lalu kami semua bersiap untuk presentasi hasil kunjungan ke Jepang sekaligus malam perpisahan. Terutama aku dan tim dari Surabaya, karena kami akan menampilkan performance. Setelah selesai kami menuju ruang Hishou. Presentasi pun dilaksanakan. Satu persatu perwakilan dari masing-masing grup maju dan membacakan hasil workshop. Tiba waktunya aku untuk maju. Ternyata pak William-lah yang menjadi translator. Aku membacakan hasil workshop kami saat di Gujo kemarin. Lalu tamu penting dari kedutaan Indonesia datang di tengah-tengah acara. Rupanya ia terlambat—meskipun sudah di Negara Jepang, orang Indonesia tetap saja ngaret. Setelah acara presentasi selesai, kami dari tim Surabaya bersiap dan berlatih-latih ringan sebelum performance usai ramah tamah nanti. Kami pun diperbolehkan mengambil makan lebih dulu karena akan tampil. Setelah makan, kami pun maju dan menampilkan 3 lagu. 2 lagu adalah medley lagu daerah Surabaya dan Madura—Rek Ayo Rek dan Lir Saalir, yang satunya adalah Kokoro no to Mo. Selesai kami tampil, seluruh hadirin memberi kami applause dengan meriah. Lalu kami secara resmi melakukan toast perpisahan bersama-sama. Tak lama acara usai dan kami pun kembali ke kamar masing-masing. Ternyata aku belum selesai mengepak sampai waktunya teman-teman mengajak jalan-jalan, jadi aku terpaksa menolak ajakan mereka. Aku baru selesai mengepak saat mereka pulang dari jalan-jalan. Lalu kami bersama-sama turun ke lobby untuk menimbang koper, karena berat barang yang diperbolehkan di dalam bagasi maksimal adalah 20 kg. Astaga! Bagasiku seberat 25 kg! tas koperku 15 kg dan tas jinjingku 10 kg. aku pun mencoba mencari siasat agar tidak kena charge overload. Akhirnya aku bertukar tas dengan milik Rifky yang beratnya hanya sekitar 6-7 kg, sehingga total bagasiku yang menjadi 21-22 kg itu masih ada kemungkinan untuk dimaklumi. Lalu kami berkumpul di koridor lantai untuk acara perpisahan tidak resmi dengan coordinator kami—pak Kuswan dan pak William. Selain memberi kenang-kenangan kepada mereka berupa sepasang yukata dan bendera matahari terbit yang sudah tercantum tanda-tangan kami semua, kami semua melakukan curhat akbar, alias buka-bukaan dan sharing tentang drup kami. Walau kami sudah cukup lelah, tetapi pertemuan tersebut membuat kami tetap terjaga karena terasa begitu mengharukan. Setelah selesai semua, aku, Gede, Amel, Dilla, Melly, Rifky dan kak Rena berkumpul di kamar pak William untuk mengopy foto ke dalam CD sekaligus menghabiskan malam terakhir kami di Jepang. Pukul satu pagi aku kembali ke kamarku dan tidur.
Tokyo, 17 Juli 2008
Kami membawa seluruh barang-barang kami ke dekat tempat sarapan (ruang Hishou). Waduh…ternyata barang bawaanku sangat berat. Lalu kami sarapan untuk terakhir kalinya di Asakusa View Hotel. Setelah itu kami turun bersama barang-barang kami dan menuju ke Narita Airport dengan bus. Sesampai di Narita, kami pun antre untuk check in dan memasukkan bagasi. Ternyata eh ternyata, berat barang kami tidak dibatasi, sehingga kami tidak perlu khawatir lagi masalah charge overload. Para coordinator tidak ikut ke Indonesia, sehingga mereka hanya bisa mengantar kami sampai gate ke area emigration check. Kami pun berfoto bersama dengan mereka dan saling mengucapkan kalimat perpisahan. Aku tidak kuat menahan air mataku. Mereka—pak Kuswan dan William—sudah seperti keluarga bagiku. Mereka begitu sabar dan baik hati mengurusi kami semua yang sebenarnya susah diatur ini. Kami melewati emigration check, lalu kami ke ruang tunggu untuk menunggu pesawat JL725. Setengah jam kemudian, kami semua dipersilakan naik ke pesawat. Dan untuk terakhir kalinya, kami menapakkan kaki di tanah matahari terbit. Di pesawat, aku termenung sejenak. Rasanya baru kemarin, aku duduk di pesawat seperti ini dengan perasaan yang campur aduk penasaran tentang Jepang, tetapi sekarang aku pun juga duduk di atas benda yang sama dengan perasaan campur aduk pula, antara senang akan kembali pulang dan bertemu keluarga, serta sedih karena meninggalkan Jepang. Tetapi, meskipun aku sudah meninggalkan Jepang, kenanganku di sana tidak akan ikut tertinggal begitu saja. Akan kuingat selalu selama hidupku.