Minggu ke-tujuh, 15 - 21 Maret 2010
Ngga kerasa udah hampir tujuh minggu aku berada di Ukraina. Semakin hari aku semakin terbiasa sama kehidupan di sini. Aku sudah terbiasa ngga makan makanan dengan rasa yang menusuk tajam, aku sudah terbiasa dengan suhu yang ngga pernah bikin kipas-kipas, aku sudah hafal nomor-nomor bis yang harus aku naikin kalo mau pergi2, aku sudah hafal nama-nama umum orang-orang di sini, ya,: Alex (Sasha), Ivan (Vanya), Vladimir, Zhenya, Andrey, Anatoly, Yuri, Pavel, Sergey, Nastya, Anya, Anton, Maksim, Lena, Liara, Katya, Marina, Karina, and sooo on, aku pun sudah tau harus ngomong apa di supermarket atau di toko fastfood, bahkan aku bisa ngucapinnya dengan aksen asli!
Hmm, aku udah kebiasa juga ngeliatin cowo2 dan cewe2 berambut pirang, emas, coklat, merah, dengan kulit putih dan bermata hazel, hijau, ataupun biru. Aku udah terbiasa hidup di tengah2 mereka yang dulu cuma bisa aku liat di film-film sejarah tentang Semitism, perang dunia, dan sejenisnya. Aku terbiasa dengan cara mereka memberi salam saat bertemu dan berpisah, terbiasa dengan pemandangan yang bagi orang-orang timur dianggap vulgar jika dilakukan di depan umum.
Semua itu aku sadari saat sepulangnya aku dari sekolah suatu hari. Waktu itu Rita yang nemenin.
Rita: ngga kerasa udah tinggal seminggu lagi ya proyek ini berakhir?
Aku: iya..kamu seneng?
Rita: ya seneng, soalnya semua kegilaan ini bakal berakhir. Tapi juga sedih, soalnya kalian bakal pulang abis itu kan?
Aku: iya..sama.. aku juga senang sekaligus sedih..
Rita: kamu seneng ngga selama di sini benernya?
Aku: kamu bercanda? Ya jelas seneng lah…aku dapet banyak hal berharga di sini, mungkin harga tiket pesawat itu sudah kelewat murah untuk dapetin semua ini. Aku dapet banyak pelajaran di sini..
Rita: dan teman-teman..
Aku: dan teman teman..
Aku tersenyum. Ya, aku ngga hanya mengajar di sini, tapi juga belajar. Aku ngga hanya memberi di sini, tapi juga menerima. Aku berbagi.
Aku jadi tahu sedikit-sedikit bahasa Rusia dan Ukraina. Aku jadi tahu budaya tradisional maupun sosialnya. Aku jadi terbiasa dengan aksen khas ini. Aku jadi tahu lebih banyak tentang sejarah Soviet. Aku tahu bagaimana susahnya jadi guru. Aku tahu gimana caranya berkomunikasi dengan orang-orang dari bangsa, budaya, dan usia yang berbeda. Aku jadi tahu bagaimana caranya menjadi teman bagi murid-muridku. Bagaimana menyenangkan mereka bahkan di saat materi yang membosankan.
Bagaimana tetap tersenyum di depan mereka sementara hatiku menangis. Bagaimana tetap sabar dan tertawa saat mereka bandel dan malas. Bagaimana mengerti perasaan, pendapat, dan kepentingan orang lain.
Sampai dengan hal-hal kecil. Aku tahu bagaimana tinggal bersama seseorang yang berbeda jenis dan berbeda karakter. Bagaimana berbagi makanan (kayak di pengungsian aja), berbagi tugas. Bagaimana memasak nasi, membuat makanan dengan rasa sedekat mungkin dengan selera yang merindu masakan rumah. Bagaimana menjadi mandiri dan kuat.
Juga sampai ke hal-hal yang pertama kali dalam hidup kulakukan. Seperti minum alcohol—wine, vodka, bir—semata-mata demi menghangatkan badan dan social respect. Pergi ke night club dan menari di bawah lampu yang gemerlap.
Dan jujur, hal yang paling membuatku betah di sini adalah kebahagiaan yang aku rasakan saat bersama murid-muridku. Rasa bahagia saat melihat mata mereka yang polos dan ingin tahu, walaupun kadang beberapa sangat bandel.
Seperti pada suatu hari, Sasha dan aku berbincang-bincang ringan sebelum materi dimulai.
Sasha: Dana, Dan.. are you still virgin?
Aku: *keselek* yes of course! Why did you ask that?
Sasha: Are you kidding? Nooo, you can’t be a virgin!
Aku: Why??
Sasha: because you’re 18! You musn’t be a virgin! I’m 17 and I’m not virgin anymore.
Aku: *keselek lagi* really?!
Sasha: yeaaah, and Andrey too, and David too! But Zhenya is still virgin, huahaahahaa
David: What? Is it true you’re still virgin?
Aku: yep!
David: Why?
Aku: Because it’s our norm to not have sex before marriage, in our country, in our tradition, and in our religion…Sasha, what are you doing?!!
Sasha: *bisik-bisik sama Andin, terdapat kata2 ‘Dana’ dan ‘cannot’ dan ‘virgin’.. well, people here usually lose their virginity when they're 16!
Aku: ...
Untunglah abis itu saatnya materi dimulai, sehingga aku ngga akan keselek lebih banyak lagi.
Yah, itulah bandel-bandel khas mereka selain meminta diajarkan bagaimana mengucapkan ‘F*ck you’ dalam bahasa Indonesia.
Rasa bahagia saat merasakan mereka di sekelilingku, tertawa bersama, berjalan menyusuri jalanan yang basah, bersalju, ataupun licin. Berbagi hari di bawah naungan suhu yang menggigit dan angin yang menusuk, jika beruntung terkadang di bawah sinar hangat matahari.
Rasa bahagia saat mereka mengerti apa yang aku jelaskan, dan aku pun mengerti apa yang mereka utarakan. Rasa bahagia saat mereka terkadang memamerkan hasil karyanya, memamerkan nilai ujian, memberikanku souvenir kecil. Rasa bahagia saat mereka tertawa mendengar humor-humor yang terkadang kuselipkan dalam pelajaran. Saat mereka terkagum melihat informasi yang menarik. Saat mereka bersorak karena memenangkan game.
Semua itu lebih berharga bagiku dari jumlah uang yang dibayarkan demi tiket pesawat dll. Ya ya mungkin memang orang tuaku yang membayar semua itu, tapi merekapun mengerti, bahwa itu adalah investasi. Investasi demi guru yang terbaik dalam hidup: Priceless Experience.
‘Cost and worth are really different things…’
No comments:
Post a Comment